Selayang Pandang Marga Abab, Yang Mulai Dilupakan



PALI, PUBLIKZONE --- Tidak ada catatan yang pasti ataupun data yang dapat di  akses  terkait tentang  marga Abab. Cerita ini di dapat dari tutur  para tetua adat dan orang marga Abab yang peduli di tetang marga Abab. Sebagai putra Abab (penulis), sangat peduli tentang marga Abab. Melalui tulisan ini paling tidak dapat mengingatkan generasi muda sekarang bahwa dahulu kala Kecamatan Abab--sekarang ini adalah marga Abab.

Entah harus memulai dari mana untuk bercerita tentang marga Abab, Penulis mencoba memulai cerita marga Abab dari sebuah ujung jalan kecil yang menurut warga setempat di sebut jalan Tumbang Dagang  di tengah Desa Betung  Selatan, dahulu kala merupakan jalan utama tempat dermaga para pedagang dari luar untuk masuk ke marga Abab. Pada masa itu sungai Abab masih bersih dan dalam, sehingga kapal dagang dapat merapat sampai ke tengah tengah pedalaman marga Abab. 

Banyak bukti yang dapat menjadi acuan tentang kondisi Desa Betung pada masa kurun waktu beberapa abab silam, seperti diketemukanya oleh warga setempat tembikar atau perkakas rumah tangga dan juga koin yang berlubang segi empat, yang ditemukan dipinggiran sungai Abab dan koin ini diduga peninggalan masa dinasti Ming yang terakhir ( koin berlobang segi empat seperti dalam buku Late Imperial Chinese Armies 520-1840  oleh C J peerlsm). Benda- benda seperti ini diduga di bawa saudagar Cina ke daerah pedalaman untuk ditukar dengan rempah –rempah dan warga Betung yang menyimpan koin ini menyebutnya uang Puyang Serampu.

Cerita Marga Abab juga tak bisa dipisahkan dari perkembangan  Palembang. Pada abad ke 16 sampai 18  kota Palembang merupakan pusat perdagangan utama di kawasan ini sehingga banyak saudagar yang berdagang  sampai ke hulu sungai Musi dan cabangnya   seperti sungai Lematang, sungai Komering termasuk sungai kecil seperti sungai Abab, Perayun dan juga sungai Sebagut yang di diami  Marga Abab.

Menurut keterangan tetua penduduk setempat, pada tahun 1940 bangkai kapal dagang besar yang karam masih dapat dilihat di Sungai Perayun. Dan ini membuktikan bahwa dahulu kala pedagang manca negara sudah sampai ke pelosok kawasan ini.

Marga adalah suatu kesatuan organisatoris terbentuk berdasar wilayah, dan juga keturunan, yang kemudian dikukuhkan dengan pemerintahan administratif serta ikatan norma-norma yang tidak hanya berupa adat-istiadat tidak tertulis tetapi juga oleh ikatan berupa aturan dalam diktum-diktum yang tertulis secara terperinci, kata marga ataupun huluan dapat di baca pada kitab Undang-Undang  Residen Palembang Tideman dalam surat edaran No.627/21 Tanggal 18 Januari 1928 yakni Oendang-Oendang Simboer Tjahaja Jaitoe Oendang-Oendang Jang Ditoeroet Didalam Hoeloean Negeri Palembang.

Marga secara fungsional memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan sejarah peradaban masyarakat di Sumatera Selatan. Secara tradisional, marga merupakan institusi tertinggi kemasyarakatan setelah lembaga keluarga, kampung dan dusun. Marga dipimpin oleh seorang tokoh yang pada umumnya dikenal dengan sebutan Pasirah.

Dengan kualifikasi tertentu, pemimpin marga disebut pula sebagai Depati dan Pangeran. Seorang kepala marga, untuk dapat disebut sebagai Depati ialah apabila ia telah berhasil dipilih untuk memangku jabatan Kepala Marga paling tidak selama dua kali berturut-turut, sedangkan Pangeran ialah dipilih minimal lima kali berturut-turut.

Pertambahan ataupun penyebaran penduduk, merupakan salah satu penyebab terjadinya pemekaran suatu marga. Karena pemekaran itu, maka jumlah marga di Sumatera Selatan selalu bertambah dari masa ke masa. Menurut catatan yang dibuat pada tahun 1879 dan 1932 seluruh marga yang ada di Sumatera Selatan (pada waktu itu disebut Keresidenan Palembang) berjumlah 174 marga.

Pada tahun 1940, menjelang masa Kemerdekaan Indonesia, jumlah itu menjadi 175 marga. Sedang pada masa Kemerdekaan di awal masa Orde Baru tahun 1968, berjumlah 178 marga. Pada tahun 1983, ketika marga-marga dibubarkan, jumlah seluruh marga di Sumatera Selatan mendekati angka 200.

Sebagai suatu lingkungan kehidupan di pedesaan Sumatera Selatan, Marga memberikan ruang gerak yang sangat terbuka dan dapat menampung berbagai hajat hidup serta keperluan masyarakatnya. Dalam marga, masyarakat memperoleh jaminan ketertiban dan keamanan, kepastian hukum, kepastian akan adanya peluang untuk menyalurkan bakat dan minat politik, dan kepentingan-kepentingan lainya.
 
Asal muasal kata Abab diperkirakan dari satu kalimat orang Palembang yang menyebut tempat yang jauh dengan kata abab sehingga sungai yang di sebut jauh itu adalah sungai Abab yang bermuara ke Muara Lematang dan sungai Musi, sedangkan sungai Abab berhulu ke Danau Pusar tepatnya di Desa Pengabuan.

Marga Abab mendiami wilayah selatan Kerisidenan Palembang dengan luas lebih kurang 350 ribu kilo meter persegi dengan berbatas sebelah selatan marga 4 Petulai Curup sekarang menjadi Kecamatan Tanah abang di sebelah timur, Gamat uyung atau sekarang lebih di kenal Gunung ayu dan Paye Telang sebelah barat Sungai Perayun Lingkis di utara Sungai Musi.
 
Pasirah, Depati ataupun Pangeran yang terkenal memimpin marga Abab di antaranya Pangeran Lubuk di kenal sebagai seorang yang pemberani dan tegas di lanjutkan Depati Idung Panjang keturunan Arab yang menikahi putri Abab. Lantas  dilanjutkan oleh Depati Syakun tinggal di Betung. Marga Abab dalam kepemimpinan Depati Basar diperkirakan memerintah awal abad 19 . Pada akhir masa jabatan Depati Bagong yang tinggal di Betung sempat terjadi dualisme pemerintahan  di marga Abab, karena itu sempat terjadi ke kekosongan kepemimpinan. 

Kericuhan ini diduga pengaruh kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sudah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Selatan. Kemudian, Anwar dalam kurun 1949 sampai tahun 1960 seorang guru, menjadi Pasirah Abab. Dilanjutkan oleh Umar Hasan  sampai tahun 1967. Selanjutnya pemerintah Kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah di Kecamatan Talang Ubi menunjuk Piromli  menjadi pejabat Pasirah Abab. Jabatan Piromli tidak berlangsung lama dan di gantikan oleh Aliabun berdomisili di Prambatan dari tahun 1968 sampai  tahun 1974 dan Ali Zaman M Noor merupakan pasirah terakhir marga Abab seiring dengan keluarnya Peraturan Pemerintah tentang pergantian tata pemerintahan marga menjadi Kecamatan.

Marga Abab merupakan satu marga dari sekian banyak marga yang mendiami Sumatera selatan yang terkenal dengan sopan santunya dan adat istiadatnya.  Oleh karna itu pula banyak dari pemuda Abab yang menuntut ilmu ke Palembang, semenjak zaman Belanda. Pengaruh adat dan kesenian Palembang masih terasa sampai saat ini terutamah adat tata cara perkawinan.

Pada perkembangan selanjutnya marga Abab menjadi bagian Kecamatan Penukal Abab dengan Ibukota Babat dan pada tahun 2005 marga Abab resmi menjadi Kecamatan sendiri dengan nama Kecamatan Abab dengan ibukota Kecamatan Betung. Kini Pemerintahan Marga Tinggal Kenangan, Akankah kita hidupkan kembali?Bersambung. (oleh  pidin c oteh. Sumber : Arpan Menaman, Mulyadi bergelar Singa Abab dan Redda Hasan)

Posting Komentar

6 Komentar

  1. Terime kasih lah membuat selanyang pandang kiseh dusun betung abab

    BalasHapus
  2. Terimaksih bnyak saya bisa tau sejarah desa keluarga saya desa betung abab , saya juga masih keturunan abab
    marga kakek saya alaiy , nama panjang ya oesman mahidun salam putra rantau abab

    BalasHapus
  3. Terimaksih bnyak saya bisa tau sejarah desa keluarga saya desa betung abab , saya juga masih keturunan abab
    marga kakek saya alaiy , nama panjang ya oesman mahidun salam putra rantau abab

    BalasHapus
  4. Sy juga asli org betung, tp sayang referensi tulisan ga jelas. Hya cerita dri mulut ke mulut yg kebenarannya sangat diragukan....

    BalasHapus
  5. Sy juga asli org betung, tp sayang referensi tulisan ga jelas. Hya cerita dri mulut ke mulut yg kebenarannya sangat diragukan....

    BalasHapus